Mengenang Perjuangan dan Pemikiran Bapak Pendidikan Indonesia, Suwardi Suryaningrat

Dilihat 20,648 pengunjung

Halo Sobat SMP! Ada yang tahu siapa Suwardi Suryaningrat? Hmm, kalau sedikit asing, siapa yang kenal dengan Ki Hajar Dewantara? Yap, keduanya adalah tokoh yang sama. Kendati demikian, Nama Ki Hajar Dewantara lebih populer ketimbang Suwardi Suryaningrat yang merupakan nama asli beliau.

Tokoh Pahlawan Pendidikan Indonesia ini sudah banyak dikenal oleh masyarakat Indonesia. Berkat perjuangan dan pemikiran beliau, hari kelahirannya pada 2 Mei ditetapkan menjadi Hari Pendidikan Nasional.

Meski dikenal sebagai Bapak Pendidikan Indonesia, belum banyak yang mengetahui seperti apa kiprah perjuangan dan pemikiran beliau bagi dunia pendidikan di Tanah Air. Oleh karena itu, yuk simak artikel ini untuk mengetahui informasi selengkapnya!

Raden Mas Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara dilahirkan di Yogyakarta pada 2 Mei 1889. Beliau berasal dari keluarga bangsawan. Ayahnya yang bernama Kanjeng Pangeran Ario Suryaningrat dan ibunya yang bernama Raden Ayu Sandiah merupakan bangsawan Puro Pakualaman Yogyakarta. 

Lahir dari keluarga bangsawan tidak serta-merta membuat Suwardi Suryaningrat abai terhadap masa depan generasi penerus bangsa. Ia memandang politik pemerintah Hindia-Belanda sangat diskriminatif terhadap kaum bumiputera. Oleh karena itu, Suwardi Suryaningrat terus berupaya memperjuangkan hak-hak kesetaraan kaum bumiputera dengan kaum penjajah.

Masa pendidikan

Berkat kebangsawanannya, Suwardi Suryaningrat berhak mengenyam pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah dasar Belanda. Setelah tamat dari ELS pada 1904, beliau ditawari menjadi mahasiswa STOVIA (School tot Opleiding Van Indische Artsen) – Sekolah Dokter Jawa di Jakarta.

Ia menerima tawaran tersebut dan sempat merasakan bangku pendidikan di STOVIA pada 1905—1910. Namun karena sakit, ia tidak naik kelas dan beasiswanya pun dicabut. Ada sinyalisasi bahwa pencabutan beasiswa beliau tidak murni karena sakit, tetapi karena ada muatan politis dari pemerintah Hindia-Belanda.

Beberapa hari sebelum beasiswanya dicabut, Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara memang sempat mendeklarasikan sajak yang menggambarkan keperwiraan Ali Basah Sentot Prawirodirdjo, seorang panglima perang Diponegoro. 

Ada dugaan bahwa pemerintah Hindia-Belanda tidak senang terhadap sikap Suwardi Suryaningrat yang membangkitkan semangat nasional untuk memberontak. Beliau memang terkenal pedas dalam memberi kritikan terhadap pemerintah Hindia-Belanda. 

Kritikan Pedas Seorang Jurnalis

Setelah gagal menjadi dokter di STOVIA, Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara banting setir menjadi jurnalis dan bergabung dengan berbagai organisasi pergerakan nasional seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, dan Indische Partij.

Di Indische Partij, ia memiliki rekan seperjuangan, yaitu Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker (dikenal dengan Danudirja Setiabudi) dan dr. Cipto Mangunkusumo. Ketiganya dijuluki sebagai “Tiga Serangkai”.

Kritikan Suwardi Suryaningrat semakin pedas, ia pernah menentang perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda di Indonesia. Menurutnya penjajah tidak sepatutnya merayakan kemerdekaan di tanah jajahannya, bahkan dibiayai oleh rakyat pribumi.

Ia menyalurkan protes tersebut melalui risalah yang berjudul “Als ik eens Nederlander was” (Andai aku seorang Belanda) pada Juli 1913. Risalah yang dicetak sebanyak 5.000 eksemplar ini membuat pemerintah Hindia-Belanda naik pitam.

Pengasingan ke Belanda

Setelah itu, “Tiga Serangkai” diasingkan ke Belanda. Di negeri orang, Suwardi Suryaningrat hidup dengan segala keterbatasannya. Ia bertahan hidup dengan menjadi jurnalis untuk surat kabar dan majalah Belanda.

Surat-surat kabar Belanda yang bersikap sangat bersahabat dengan Tiga Serangkai yaitu “Het Volk” dan “De Nieuwe Grone Amsterdamer” memberi kesempatan kepada Tiga Serangkai untuk menulis dan menyalurkan pikiran-pikiran tentang cita-cita perjuangan kemerdekan bangsa Indonesia. 

Berkat pengaruh Tiga Serangkai, maka penghimpunan para mahasiswa Indonesia di negeri Belanda yang tergabung dalam “Indische Vereeniging” semakin menonjolkan semangat kebangsaan dan semangat kemerdekaan, dan berani mengubah namanya menjadi “Perhimpunan Indonesia”.

Pengetahuan dan pemahaman sejarah sosial pendidikan yang memberi pencerahan dan pemikiran Suwardi Suryaningrat, justru ketika beliau menjalani masa pembuangan di negeri Belanda. Di sanalah beliau banyak mempelajari masalah pendidikan dan pengajaran.

Taman Siswa

Baca Juga  Pemangku Kepentingan Berkolaborasi dan Mendukung Implementasi Rapor Pendidikan

Setelah kembali ke Indonesia, Suwardi Suryaningrat diingatkan oleh istrinya mengenai gagasan yang pernah ia sampaikan kepada K. H. Ahmad Dahlan tentang harus adanya perguruan nasional yang mendidik kader-kader perjuangan untuk menentang penjajah.

Pada akhirnya ia dan kawan-kawan pun mendirikan “Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa” di Yogyakarta pada 3 Juli 1922. Perguruan Nasional Taman Siswa membuka sekolah berbagai tingkat, mulai dari taman kanak-kanak hingga pendidikan menengah atas.

Lahirnya Perguruan Nasional Taman Siswa mendapat sambutan baik dari masyarakat banyak. Ratusan Perguruan Nasional Taman Siswa tumbuh di mana-mana dijiwai oleh semangat cinta Tanah Air. Suwardi Suryaningrat dengan Taman Siswanya terkenal di mana-mana.

Dengan berdirinya Taman Siswa, Suwardi Suryaningrat telah berhasil mendirikan lembaga pendidikan yang meletakkan dasar-dasar pendidikan yang memerdekakan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi sistem pendidikan nasional di Tanah Air.

Nama “Ki Hajar Dewantara”

Pada 3 Februari 1928, Suwardi Suryaningrat berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara. Menurut Ki Utomo Darmadi, Hadjar artinya pendidik, Dewan artinya utusan, dan Tara artinya tak tertandingi. Jadi maknanya dari nama Ki Hajar Dewantara adalah Bapak Pendidik Utusan Rakyat yang Tak Tertandingi Menghadapi Kolonialisme.

Akhir Perjuangan Ki Hajar Dewantara

Setelah memimpin Perguruan Nasional Taman Siswa yang telah tersebar di seluruh Indonesia selama 37 tahun lamanya, Ki Hajar Dewantara tutup usia pada 26 April 1959 di Padepokan Ki Hajar Dewantara. Beliau disemayamkan di Pendopo Agung Taman Siswa Yogyakarta.

Perginya Suwardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara tidak mengakhiri perjuangan beliau begitu saja. Ki Hajar Dewantara telah meninggalkan warisan yang begitu penting bagi Indonesia, khususnya di bidang pendidikan. Beliau mewariskan sistem pendidikan dan semangat juang untuk anak-anak bangsa dalam menempuh pendidikan yang layak. 

Beberapa semboyannya dipakai oleh negara seperti Tut Wuri Handayani yang saat ini menjadi semboyan pendidikan serta logo Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Selain semboyan Tut Wuri Handayani, salah satu semboyan Ki Hajar Dewantara yang meningkatkan semangat perjuangan adalah “Lebih Baik Mati Terhormat Daripada Hidup Nista”. Semboyan ini digaungkan ketika menentang Undang-undang Sekolah Liar tahun 1932.

Entah Suwardi Suryaningrat ataupun Ki Hajar Dewantara, beliau dimuliakan, dihormati, dan dijunjung tinggi bukan karena keturunan bangsawan dan bukan karena banyak hartanya, tetapi karena amal dan jasanya yang luar biasa bagi sesama, bangsa, dan negara.

 

Referensi: Buku Ki Hajar Dewantara Pemikiran dan Perjuangannya terbitan Museum Kebangkitan Nasional tahun 2017

Penulis: Pengelola Web Direktorat SMP

Scroll to Top